Senin, 12 Desember 2022

SARANA MENCARI KONSEP TUHAN

Oleh : Triat Adi Yuwono

Tuhan yang menciptakan alam semesta pastilah ada. Kalimat ”Tidak ada tuhan” yang disampaikan oleh orang-orang ateis adalah hal yang mustahil. Mengatakan ”tidak ada tuhan” sama halnya mengatakan ”tidak ada yang dipercaya”. Mengatakan ”tidak ada yang dipercaya” sama halnya mengatakan ”tidak ada yang benar”, karena sesuatu bisa dipercaya jika sesuatu itu benar atau dianggap benar. Sedangkan mengatakan ”tidak ada yang benar” sama halnya mengatakan ”semuanya salah”. Jika semuanya salah, maka kalimat ”semuanya salah’ juga salah. Dengan demikian pernyataan ”tidak ada tuhan” itu menafikkan dirinya sendiri. 

Dari rangkaian logika di atas, maka kita tidak mungkin mengatakan ”tidak ada tuhan”. Kalimat ”tidak ada tuhan” tidak mungkin bisa berdiri sendiri karena tidak masuk akal dan tidak bermakna. Kalimat itu bisa bermakna jika ia ditambah, sehingga kalimatnya menjadi: ”tidak ada tuhan, kecuali X”. Maka X menjadi satu-satunya Tuhan yang berbeda dengan tuhan-tuhan yang lain. Ia haruslah mutlak dan tidak bersifat relatif seperti yang lain. Tuhan X juga harus berbeda dengan apapun yang ada di alam raya dan apapun yang terpikirkan oleh manusia. Siapakah Tuhan ’X’ itu ? Bagaimana cara kita mengetahui-Nya ?

Tuhan yang menciptakan segala sesuatu tentulah merupakan ‘sesuatu’ di atas segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia karena kemutlakan-Nya. Manusia sebagai makhluk tidak akan mungkin dapat menjangkau sang penciptanya. Sebagaimana komputer sebagai hasil buatan yang tidak mungkin menjangkau manusia yang membuatnya.

Manusia yang fana, tidak mungkin menjangkau Tuhan yang mutlak. Tidak akan ada akal atau alat dengan teknologi secanggih apapun yang dapat mengungkap, seperti apakah hakikat Tuhan itu. Karena kemutlakan dan ketidak terjangkauannya itulah, maka kita hanya dapat melakukan pendekatan terhadap ‘konsep Tuhan’.

Cara yang paling logis untuk mencoba mendefinisikan ‘konsep Tuhan’ tentu dengan menggunakan bekal yang telah diberikan-Nya kepada setiap manusia, yaitu berupa RASA (hati) dan RASIO (akal). Namun karena adanya keterbatasan rasa dan rasio, maka kita membutuhkan petunjuk yang diturunkan oleh Dia sendiri ke dunia yang berupa WAHYU (firman-firman Tuhan).

1. Rasa (Hati)

Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, yaitu ketenangan hati. Tidak ada manusia yang menginginkan hatinya gelisah dan tidak tenang. Maka manusia secara naluriah akan mencari sesuatu yang membuat hatinya tenang. Ketenangan hati bisa diperoleh jika ia memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tempat bersandar dan berharap. Sesuatu itu tentulah harus lebih hebat dari diri dan lingkungan alam sekitarnya.

Hati yang bersih yang tidak terkotori oleh hawa nafsu akan  mengakui akan keberadaan suatu Dzat yang Maha Hebat, yang menciptakan, mengatur dan menguasai alam raya.  Dia akan mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yaitu Tuhan.

Dalam kondisi normal terkadang kesadaran akan adanya Tuhan  ini tertutup. Namun dalam kondisi bahaya, takut dan mencekam, manusia secara naluri akan memohon kepada sesuatu yang lebih kuat atas dirinya, meminta kepada sesuatu yang berkuasa atas alam untuk bisa menolongnya. Dia akan berdoa dan berlindung kepada Tuhan.

Dengan meyakini adanya Tuhan, manusia akan memiliki perasaan tenang. Namun manusia tidak puas hanya dengan meyakini tentang keberadaan Tuhan saja. Ia ingin tahu bagaimana Tuhan itu? Ia ingin tahu bagaimana karakter Tuhan, agar dia tidak meyakini tuhan yang salah, karena faktanya manusia menyembah tuhan yang berbeda-beda. Dengan mengetahui Tuhan yang benar maka dia bisa memperoleh kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan atau ketenangan yang semu. Untuk mengetahui karakter Tuhan, maka manusia mencari bagaimana konsep Tuhan dengan menggunakan akalnya.

2. Rasio (Akal)

Perasaan kita akan tenang ketika apa yang kita yakini benar. Salah satu cara untuk mencari kebenaran itu adalah dengan menggunakan akal kita.

Sesuatu, apapun itu, harus punya karakter atau ciri khas, supaya mudah dikenali dan tidak tertukar dengan yang lain. Kita bisa membedakan kursi, meja, pintu, jendela, papan tulis, spidol dan yang lainnya karena  masing-masing memiliki karakternya sendiri yang berbeda dengan karakter yang lainnya. Termasuk pula Tuhan. Tuhan juga pasti memiliki karakter atau ciri khas yang menyebabkan Dia ‘layak’ sebagai Tuhan. Jangan sampai yang bukan Tuhan justeru salah dijadikan sebagai Tuhan. Lantas, seperti apakah karakter Tuhan yang bisa diterima oleh akal manusia?

a. Absolute

‘Sesuatu’  yang dikatakan sebagai Tuhan tentu haruslah paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh ‘sesuatu’ yang lain. Sesuatu yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang masih tertandingi dengan yang lain, maka dia tidak layak dijadikan sebagai Tuhan.

Setiap orang yang beragama pasti mereka sepakat bahwa tuhan mereka haruslah yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya. Adakah yang ingin tuhannya lemah, mudah kalah, tidak memiliki kuasa? Tentu saja tidak ada. Maka Tuhan pastilah memiliki karakter Mutlak (Absolute). Dialah yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh ‘sesuatu’ yang lain.

 b. Distinct

Jika tuhan itu memiliki karakter ABSOLUTE (mutlak), yaitu yang paling hebat, paling kuat dan paling segalanya, pastilah Dia tidak ada yang menyamai, Dia berbeda dengan yang lain, dalam segala hal. Kalau masih ada yang menyamai berarti ia bukan yang paling hebat, bukan yang paling kuat, apalagi mutlak (maha segalanya). Maka sesuatu yang masih ada yang menyamai, ia tidak layak dijadikan sebagai Tuhan.

Tuhan Yang Maha Kuasa pastilah memiliki karakter DISTINCT, yaitu berbeda dengan yang lain, tidak ada yang menyamai, tidak ada yang setara dengan-Nya.

c. Unique

Tuhan yang memiliki karakter DISTINCT, tidak ada yang menyamai, berbeda dengan yang lainnya, maka pastilah jumlahnya hanya ada satu. Maka karakter Tuhan selanjutnya adalah UNIQUE, yang berarti hanya ada satu-satunya, esa, tunggal. Maka Tuhan itu hanyalah ada satu saja, bukan dua, tiga, empat dan sebagainya. Kalau jumlahnya lebih dari satu berarti dia bukanlah Tuhan, sehingga tidak layak untuk diagungkan.

Kepercayaan tentang adanya satu Tuhan (monoteisme) ini merupakan awal dari kepercayaan manusia. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi di Afrika.

Ketiga karakter tuhan ini (Absolute, Distinct dan Unique) harus dimiliki semuanya. Tidak mungkin hanya ada salah satu atau dua karakter saja. Inilah konsep Tuhan yang bisa dijangkau oleh akal. Akal manusia tidak bisa menjangkau melebihi ini. Manusia tidak bisa mengetahui hakikat siapa Tuhannya. Maka manusia perlu mengetahui siapa Dia melalui firman-firman-Nya (wahyu)  yang tertuang dalam kitab suci.

Terbatasnya kemampuan akal kita menyebabkan kita membutuhkan justifikasi dari-Nya, apakah yang dicapai akal ini benar menurut-Nya atau tidak. Kita membutuhkan wahyu agar kita bisa mendapatkan kebenaran hakiki.

3. Wahyu

Tuhan yang telah menciptakan manusia, tentu Dia tidak akan membiarkannya begitu saja tinggal di dunia ini tanpa petunjuk. Maka Dia menurunkan petunjuk-Nya yang berupa firman-firman Tuhan yang disebut wahyu untuk  membimbing manusia agar tidak tersesat. Kumpulan firman Tuhan (wahyu) inilah yang kemudian menjadi Kitab Suci sebagai pedoman hidup bagi para pemeluk agama.

Bekal rasa dan rasio manusia tidak terjamin ‘keakuratannya’ untuk mencapai konsep ketuhanan yang paling benar. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan rasa dan rasio yang hanya menafsirkan sesuatu berdasarkan pengalaman empirisnya. Ketika sesuatu itu berada di luar pengalaman empirisnya, maka rasa dan rasio tidak dapat menjangkaunya.

Contoh sederhananya adalah, ketika saya mengatakan kepada orang di pedalaman Afrika bahwa ada benda yang ketika dijatuhkan tidak jatuh ke bawah tetapi justeru ke atas, tentu mereka tidak akan percaya karena mereka belum pernah merasakan pengalaman empirisnya. Yang mereka tahu sebuah benda ketika dijatuhkan akan  turun ke bawah, bukan naik ke atas. Mereka belum pernah mengalami atau melihat hal itu, sehingga akal mereka tidak akan memahaminya. Padahal bagi kita yang hidup di kota, itu adalah hal biasa. Anak-anak di kota biasa memegang balon yang ketika dijatuhkan ke bawah justeru terbang ke atas. Ini menunjukkan bahwa akal memiliki kemampuan terbatas pada pengalaman empirisnya.  

Hati manusia juga memiliki keterbatasan, hanya bisa memahami apa yang menjadi pengalaman empirisnya. Ketika saya menanyakan kepada anak kecil usia tiga tahun bagaimana rasanya jatuh cinta, tentu dia tidak mampu menjelaskan karena belum pernah merasakannya. Demikian juga ketika saya tanyakan bagaimana rasanya putus cinta, tentu dia juga tidak akan mampu menjelaskannya karena memang belum pernah merasakannya. Ini menunjukkan bahwa akal dan hati manusia memiliki keterbatasan sesuai dengan pengalaman empirisnya. Mereka tidak mampu menjangkau apa yang diluar pengalaman empirisnya.

Sama halnya ketika kita diminta untuk mengetahui hakikat Tuhan, kita tidak akan mampu, karena Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan  manusia. Manusia hanya dapat berusaha untuk ‘mendekati’-Nya. Namun pendekatan yang dilakukan manusia dengan menggunakan rasa dan rasio masih terbuka kesalahan. Sebab, pendekatan ini masih bersifat subjektif dari sudut pandang manusia.  Agar proses pendekatan konsep Tuhan tidak salah, maka harus dibimbing oleh petunjuk dari Tuhan itu sendiri yang berupa wahyu dalam kitab suci. Tuhan adalah yang paling tahu tentang siapa diri-Nya, maka Dia menjelaskan diri-Nya dalam kitab suci itu.

Manusia untuk mengetahui tentang Tuhan, selain menggunakan rasa dan rasio dia juga harus menggunakan bimbingan dari wahyu agar memperoleh kebenaran yang hakiki. 

 Tuhan yang telah menciptakan rasa dan rasio untuk manusia, Tuhan pulalah yang telah menurunkan wahyu untuk pedoman hidup manusia, maka konsep Tuhan yang diperoleh rasa, rasio dan wahyu akan sama, saling mendukung dan menguatkan. Karena ketiganya sama-sama berasal dari Tuhan. Apabila ada ketidak cocokan konsep Tuhan antara rasa, rasio dan wahyu dalam kitab suci, maka itu pasti bukan berasal dari Tuhan.

Untuk mengetahui kebenaran konsep ketuhanan dalam ajaran agama, maka kita bisa membandingkan konsep ketuhanan yang ada dalam kitab suci dengan konsep Tuhan yang telah dicapai akal. Pembandingan ini bukan berarti menempatkan akal lebih tinggi dari wahyu, namun adalah agar kita bisa memanfaatkan karunia akal yang diberikan-Nya untuk mencapai kebenaran. Sehingga apa yang kita anggap benar tentang Tuhan, bukanlah sekedar dogma-dogma, tetapi adalah kebenaran hakiki. Dengan demikian hati (perasaan) kita akan menjadi tenang, karena kita mencapai kebenaran Tuhan yang sesuai antara rasa, rasio dan wahyu.

Minggu, 11 Desember 2022

FOTO SINTESIS DAN KESEIMBANGAN ALAM SEBAGAI BUKTI ADANYA TUHAN


 Oleh : Triat Adi Yuwono

Tumbuhan memproduksi makanan dengan melakukan proses fotosintesis. Agar dapat melakukan fotosintesis, tumbuhan membutuhkan klorofil (zat hijau daun), sinar matahari, air dari tanah (yang mengandung Nitrogen, Phospor, Kalium, kalsium, magnesium dan lainnya) serta gas karbon dioksida (CO2) dari udara.

Selain makanan, fotosintesis juga menghasilkan Oksigen yang dilepaskan ke alam. Oksigen ini dibutuhkan oleh hewan dan manusia untuk bernafas. Dalam proses pernapasannya manusia dan hewan mengeluarkan karbon dioksida. Kemudian karbon dioksida ini digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan proses fotosintesis. Begitu seterusnya siklus ini berjalan dengan teratur.

Dari proses fotosintesis yang dilakukan, tumbuhan menghasilkan makanan untuk pertumbuhannya. Tumbuhan menghasilkan batang, daun dan buah yang dibutuhkan manusia dan hewan sebagai makanannya. Setelah makan, manusia dan hewan akan menghasilkan kotoran sebagai sisa dari proses pencernaan. Kotoran itu akan dikeluarkan ke lingkungan dan diuraikan oleh mikroba. Penguraian kotoran oleh mikroba itu akan menjadi unsur-unsur hara di dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan.  Unsur-unsur hara itu kemudian akan diserap oleh tumbuhan, sehingga bisa melakukan proses fotosintesis.

Proses fotosintesis menunjukkan adanya keteraturan dan keseimbangan serta saling keterkaitan di alam antara tumbuhan, hewan dan manusia. Sipakah yang dengan sangat cerdas mengatur keseimbangan dan saling keterkaitan antara tumbuhan, hewan dan manusia ini? Mungkinkah hal ini terjadi dengan sendirinya tanpa ada yang merancang? Tentu tidak mungkin, pasti ada yang mengatur keseimbangan antara tumbuhan, hewan dan manusia ini, yaitu Tuhan.