Oleh: Triat Adi Yuwono
Rene Descartes (1596-1650 M) adalah seorang
filsuf rasionalisme. Pada mulanya ia meragukan ilmu pengetahuan yang hanya
didasarkan pada panca indera, karena panca indera memiliki banyak kelemahan
sehingga banyak menyesatkan. Ia lebih mempercayai akal pikiran. Dalam usahanya
untuk mencari kebenaran dengan perantaraan akal pikiran itulah ia kemudian
menemukan dan mengakui adanya keberadaan Tuhan[1].
Descartes mendapatkan bukti adanya keberadaan Tuhan
melalui kesadaran manusia: bahwa keraguan justru membuktikan keberadaan orang
yang meragukan. Kita tidak bisa memastikan sesuatu yang berada di luar diri
kita, namun kita bisa pasti tentang pengalaman batin kita sendiri. Tatkala kita
ragu-ragu, maka keterbatasan dan hakikat diri yang tidak sempurna menjadi
terungkap. Namun kita tidak akan sampai pada gagasan tentang
“ketidaksempurnaan” jika kita tidak memiliki konsepsi pendahulu tentang
“kesempurnaan”. Descartes menyimpulkan bahwa ketiadaan kesempurnaan adalah
mustahil; pernyataan itu merupakan contradictio in terminis (ungkapan
yang kontradiktif). Pengalaman kita tentang keraguan, dengan demikian,
menyatakan kepada kita bahwa suatu wujud yang tertinggi dan sempurna –yaitu
Tuhan- pastilah ada.[2]
Rene Descartes juga bertanya kepada dirinya sendiri: Saya tidak menciptakan
diri saya sendiri, sebab jika saya menciptakan diri saya sendiri, tentu saya
akan memberikan semua sifat kesempurnaan pada diri saya. Karena diri saya tidak
sempurna, ini merupakan pertanda bahwa bukan saya yang menciptakan diri saya,
tetapi Zat lain. Sudah tentu Zat lain yang menciptakan saya mempunyai
sifat-sifat kesempurnaan.[3]
Rene Descartes mengatakan: “Setidaknya sudah merupakan
sebuah kepastian bahwa Tuhan, yang merupakan wujud sempurna ini, ada atau
bereksistensi sebagaimana halnya setiap dalil geometri”[4].
Ia juga berkata: “Saya dan semua makhluk yang ada, dijadikan oleh Zat yang Maha
Sempurna itu. Saya menyimpulkan bahwa Tuhan mempunyai wujud tersendiri”.
Menurut Descartes, Tuhan ialah yang tidak mempunyai kesudahan, yang tiada awal
dan tiada akhir, yang abadi, kekal, berdiri sendiri, yang mengetahui segala
sesuatu dan yang merasa atas tiap-tiap sesuatu.[5]
[1] Lihat Lukman Hakim, 2008. Hal: 22-23 dan juga Zainal Abidin, 2000. Hal:48-49
[2] Karen Armstrong. 2014. Sejarah Tuhan. Mizan Media Utama: Bandung, Hal:447
[3] Lukman Hakim. 2008. Adakah Tuhan? Logika untuk Membangun Akidah. Pustaka Adipura: Yogyakarta, Hal:23
[4] Karen Armstrong. 2014. Sejarah Tuhan. Mizan Media Utama: Bandung, Hal: 448
[5] Lukman Hakim. 2008. Adakah Tuhan? Logika untuk Membangun Akidah. Pustaka Adipura: Yogyakarta, Hal:23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar