Minggu, 21 April 2024

ALLAH SWT MAHA PEMBERI RIZKI

 


Rizki adalah sesuatu yang bisa kita nikmati.  Walaupun sesuatu itu bukan milik kita, namun ketika kita bisa menikmatinya maka itu adalah rizki kita. Sebaliknya sesuatu yang menjadi milik kita, namun kita tidak bisa menikmatinya maka itu bukanlah rizki kita.

Misalnya kita membeli ikan kemudian digoreng dan diletakkan di atas meja. Lalu ikan tersebut ternyata dimakan oleh seekor kucing, maka meskipun ikan itu milik kita, tetapi ia bukan menjadi rizki kita karena tidak bisa menikmatinya.

Contoh yang lain adalah misalnya anda memiliki seorang tetangga yang mempunyai sebuah motor matic, sementara anda tidak memilikinya. Suatu saat tetangga itu mudik ke kampung halamannya dengan menggunakan kereta, sehingga motor tersebut dititipkan ke anda dan dipersilahkan untuk memakainya. Maka selama motor itu masih bisa anda pakai dan nikmati, berarti saat itu motor tersebut menjadi rizki anda. Meskipun bukan milik anda.

Allah SWT adalah pemberi rizki, Dialah satu-satunya yang Maha Pemberi rizki kepada hamba-hamba-Nya. Firman Allah SWT dalam QS. Adz Dzariat [51] ayat 58:

Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh

 Maka ketika kita meminta rizki, hanya kepada-Nyalah kita harus memohon. Bukan kepada selain-Nya.

Allah SWT menjanjikan bahwa orang yang beriman dan mau berusaha dengan baik (beramal shaleh) maka Allah akan memberinya rizki yang mulia. Firman Allah SWT dalam QS. Al Hajj [22] ayat 50 :

aka orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia

 Macam Rizki

Dari QS. Al Hajj [22] ayat 50  di atas dijelaskan bahwa orang yang beriman dan beramal saleh akan mendapatkan rizki yang mulia, berarti orang yang tidak beriman dan tidak beramal saleh akan mendapatkan rizki yang tidak mulia atau rizki yang buruk. Maka rizki bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu rizki yang mulia dan rizki yang buruk.

a.     Rizki yang Mulia

Syarat untuk mendapatkan rizki yang mulia adalah beriman dan beramal shaleh, kedua-duanya tidak bisa dipisahkan. Orang yang beriman saja tetapi tidak mau beramal shaleh (tidak mau bekerja/ berusaha) sangat mungkin dia mendapatkan rizki yang buruk disebabkan kemalasannya. Misalnya dia beriman kepada Allah SWT, sehingga dia tidak mau mencuri, korupsi, merampok dan mengambil harta orang lain, tetapi dia tidak mau bekerja dan hanya mengharapkan bantuan serta menjadi beban bagi orang lain, maka rezki yang dia peroleh bukanlah rizki yang mulia.

Demikian juga orang yang meminta-minta atau menjadi pengemis karena malas berusaha, padahal sebenarnya dia mampu bekerja maka rizki yang dia peroleh bukanlah rizki yang mulia. Kelak di akhirat orang yang demikian itu akan menghadap Allah SWT dengan wajah yang hina. Rasulullah SAW bersabda :

Seseorang yang selalu meminta-minta kepada orang lain, di hari kiamat ia akan menghadap Allah dalam keadaan tidak sekerat daging sama sekali di wajahnya” (HR. Bukhari)

Islam menganjurkan agar manusia bekerja keras dalam memenuhi kebutuhannya. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil (professional atau ahli). Barangsiapa bersusah-payah mencari nafkah untuk keluarganya maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza wajalla”. (HR. Ahmad)

Rizki yang baik adalah rizki yang diperoleh karena amal usahanya. Rasulullah SAW bersabda :

“Tiada makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangan sendiri”. (HR. Bukhari)

Namun demikian, orang yang beramal (berusaha) saja tetapi dia tidak beriman, maka sangat mungkin dia akan menghalalkan segala cara untuk memperoleh rizki. Dia bisa saja akan mencuri, merampok, korupsi, mengambil hak orang lain asalkan bisa memperoleh rizki. Maka rizki yang dia peroleh adalah rizki yang buruk.

Adanya keimanan dalam hatilah, yang mendorong seseorang untuk berusaha mencari rizki yang halal dan baik. Rasulullah SAW bersabda :

“Mencari rezeki yang halal adalah wajib sesudah menunaikan yang fardhu (seperti shalat, puasa, dll)”. (HR. Ath-Thabrani dan Al-Baihaqi)

Dengan demikian, rezeki yang mulia adalah rizki yang diperoleh dengan keimanan dalam hati dan kesungguhan dalam berusaha. Allah SWT menyukai orang yang mau bekerja keras dalam mencari rizki yang halal. Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah Ta'ala senang melihat hamba-Nya bersusah payah (lelah) dalam mencari rezeki yang halal”. (HR. Ad-Dailami)

 

b.     Rizki yang Buruk

Orang yang tidak beriman kepada Allah SWT akan melakukan segala cara untuk memperoleh rizki. Maka rizki yang ia peroleh adalah rizki yang buruk karena ia tidak peduli dengan apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Allah SWT.

Orang yang memakan harta haram tidak akan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya, doa-do’anyapun tidak akan didengar oleh Allah SWT. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah r.a ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu baik, tidak mau menerima sesuatu kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin (seperti) apa yang telah diperintahkan kepada para rosul, Alloh berfirman, “Wahai para Rasul makanlah dari segala sesuatu yang baik dan kerjakanlah amal shalih” (QS Al Mukminun: 51). Dan Dia berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari apa-apa yang baik yang telah Kami berikan kepadamu” (QS Al Baqoroh: 172). Kemudian beliau menceritakan kisah seorang laki-laki yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan berdebu. Dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Rabbku, wahai Rabbku”, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan (perutnya) dikenyangkan dengan makanan haram, maka bagaimana mungkin orang seperti ini dikabulkan do’anya.” (HR. Muslim)

Selain do’a-do’anya tidak dikabulkan oleh Allah, orang yang makan dari hasil rizki yang haram maka kelak di akhirat mereka akan mendapatkan siksa api neraka. Rasulullah SAW bersabda:

“Tiap tubuh yang tumbuh dari (makanan) yang haram maka api neraka lebih utama membakarnya”. (HR. Ath-Thabrani)

 Selain karena tidak beriman, rizki yang buruk juga bisa disebabkan karena orang itu  malas, tidak mau beramal shaleh dengan bekerja. Ia menganggur saja dan hanya mengharapkan belas kasihan orang lain. Orang yang tidak mau bekerja keras dan menganggur saja akan menyebabkan hatinya keras. Rasulullah SAW bersabda:

“Pengangguran menyebabkan hati keras (keji dan membeku”). (HR. Asysyihaab)

Kemalasan yang diperturutkan sangat mungkin akan menyebabkan seseorang menjadi beban bagi orang lain bahkan menjadi peminta-minta. Ini adalah hal yang buruk, apalagi memintanya dengan memaksa. Orang yang berbuat demikian, meskipun ia mendapatkan rizki, namun rizki yang ia peroleh adalah rizki yang buruk. Hal ini dibenci oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah membenci orang yang keji, yang berkata kotor dan membenci orang yang meminta-minta dengan memaksa”. (AR. Ath-Thahawi)

Allah Memberi Rizki Sesuai Usahanya

Allah SWT memberikan rizki sesuai dengan kehendak-Nya. Bagian dari kehendak-Nya adalah bahwa barangsiapa yang bekerja keras, dia akan dilapangkan rezekinya dan barangsipa yang bermalas-malasan maka Dia akan menyempitkan rezekinya. Manusia memperoleh rizki sesuai dengan usahanya. Allah SWT Maha Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hamba-Nya mana yang berhak untuk dilapangkan dan disempitkan, sesuai dengan kerja kerasnya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Isra [17] ayat 30:

Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya

Allah SWT juga berfirman dalam QS. An-Najm [53] ayat 39 :

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”,

Rasulullah SAW juga mengabarkan, bahwa Allah SWT memberikan rizki kepada manusia sesuai dengan usaha dan kemauan kerasnya. Beliau SAW bersabda :

“Allah memberi rezeki kepada hamba-Nya sesuai dengan kegiatan dan kemauan kerasnya serta ambisinya.” (HR. Ath-thusi)

 

Bersegera dalam Mencari Rizki

Salah satu upaya untuk mendapatkan rizki adalah menjemputnya dengan bersegera. Allah SWT memerintahkan kepada kita agar setelah beribadah kepada-Nya kita segera mencari karunia-Nya dengan bekerja. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Jum’ah [62] ayat 10:

“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.”

Rasulullah SAW juga memerintahkan agar kita bangun  pagi hari agar bisa lebih awal dalam mencari rizki. Rasulullah SAW bersabda :

Bangunlah pagi hari untuk mencari rezeki dan kebutuhan-kebutuhanmu. Sesungguhnya pada pagi hari terdapat barokah dan keberuntungan. (HR. Ath-Thabrani) 

Bahkan Rasulullah SAW mendo’akan umatnya yang mulai bekerja pada pagi hari agar mendapatkan keberkahan. Beliau berdo’a :

Ya Allah, berkahilah umatku pada waktu pagi hari mereka. (HR. Ahmad)

 

Dan beliau SAW melarang umatnya tidur setelah shalat subuh, yang dapat melalaikan seseorang dari mencari rizki. Beliau SAW bersabda :

Seusai shalat fajar (subuh) janganlah kamu tidur sehingga melalaikan kamu untuk mencari rezeki. (HR. Ath-Thabrani)
 

Banyak Ingat Allah dalam Mencari Rizki

Dalam mencari rizki, hendaknya kita senantiasa mengingat Allah SWT, ingat akan perintah dan larangan-Nya. Ingat mana rizki yang dihalalkan dan mana yang diharamkan. Yang dihalalkan boleh diambil, sementara yang diharamkan harus dihindari. Dengan demikian maka kita akan memperoleh keberkahan dari rizki yang kita dapatkan. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Jum’ah [62] ayat 10 :

”Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Rizki yang berkah akan menjadikan hidup kita menjadi mudah dan memperoleh banyak keberuntungan. Sementara rizki yang haram akan menyebabkan hidup kita menjadi susah dan sempit.

 Menafkahkan Sebagian Rizki

Allah SWT memberikan rizki secara berbeda-beda kepada hamba-Nya sesuai dengan kemampuan dan hasil usahanya. Orang-orang yang diberi kelebihan rizki hendaknya mau menafkahkan sebagian rizkinya kepada orang lain yang membutuhkan agar mereka sama-sama merasakan rezeki itu. Menafkahkan sebagian rizki adalah sebagai salah satu bentuk rasa syukur kita atas berbagai nikmat-Nya. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl [16] ayat 71-74:

Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah

Jika kesadaran untuk berbagi rezeki ini tumbuh di tengah-tengah masyarakat, maka kesenjangan sosial akan bisa teratasi dan masyarakat bisa hidup sejahtera.


Jangan Takut Miskin

Allah SWT menciptakan makhluk-Nya dan telah menjamin bagi mereka rizkinya masing-masing. Tugas mereka adalah untuk menjemput rizki itu. Firman Allah SWT dalam QS. Hud [11] ayat 6 : 

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)”.

Yang dimaksud binatang melata dalam ayat di atas adalah segenap makhluk Allah yang bernyawa, sehingga setiap makhluk-Nya sudah diberi potensi oleh Allah SWT untuk memperoleh rezeki. Burung diberi kemampuan untuk bisa terbang dan memiliki paruh yang bisa digunakan untuk mencari makanan. Harimau diberi cakar dan taring untuk memperoleh makanannya. Cicak diberi kemampuan merayap di dinding untuk memperoleh makanannya. Semua makhluk Allah diberi potensi untuk memperoleh rezekinya masing-masing. Demikian juga manusia, ia diberi fisik yang sempurna dan akal untuk bisa mencari rizkinya.

Maka manusia sebagai makhluk yang diciptakan paling sempurna dilarang berputus asa dari rahmat Allah dan takut miskin karena khawatir tidak mendapatkan rizki. Selama ia mau berusaha dan mau memanfaatkan potensi yang dimiliki, maka Insya Allah ia akan mendapatkan rizki. Karena Allah-lah yang Maha Pemberi Rizki kepada segenap makhluk-Nya. Kekayaan, Rahmat dan Karunia-Nya tidak terbatas dan tidak akan pernah berkurang atau habis.

Allah SWT juga melarang orang menunda-nunda pernikahan hanya karena takut miskin. Bahkan kita diperintahkan oleh Allah untuk membantu mereka yang belum menikah untuk bisa menikah. Apabila mereka miskin, maka Allahlah yang akan memberikan kemampuan kepada mereka. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nur [24] ayat 32 :

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.

Kita juga dilarang membunuh anak karena takut dengan kemiskinan, karena Allahlah yang akan memberikan karunia-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Isra’ [17] ayat 31 :

Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.

Termasuk dari membunuh anak yang dilarang oleh Allah SWT adalah melakukan aborsi disebabkan karena khawatir terhadap rizkinya.

Senin, 10 April 2023

SUMBER UTAMA HUKUM ISLAM



 Oleh : Triat Adi Yuwono

Kita sebagai umat Islam wajib untuk mengikuti hukum  Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan sumber utama dalam hukum Islam.

Allah SWT memerintahkan kita untuk taat kepada-Nya dengan berpegang kepada Al-Qur’an dan taat kepada Rasul-Nya dengan berpegang pada As-Sunnah, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa [4] ayat 59:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Rasulullah SAW juga telah memerintahkan kita untuk berpegang teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an) dan sunnahnya agar kita bisa selamat di dunia dan di akhirat. Sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits :

“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” (HR.Hakim dan Daruquthni).

a.        Al-Qur’an

Al-Qur’an merupakan firman Allah SWT yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Al-Qur’an adalah sumber hukum yang utama  bagi umat Islam.

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT di Bulan Ramadlan sebagai petunjuk bagi umat manusia dan sebagai pembeda antara yang hak dan yang bathil. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2] ayat 185 :

 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai kitab yang lengkap, yang menjelaskan semua persoalan. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl [16] ayat 89 :

 (dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.

Semua isi kandungan di dalam Al-Qur’an adalah kebenaran, tanpa ada keraguan sedikitpun padanya. Orang-orang yang bertaqwa menjadikannya sebagai petunjuk di dalam kehidupan.  Allah SWT berfirman dalam QS.Al-Baqarah [2] ayat 2:

 Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa,

b.        As-Sunnah

Selain berpegang kepada firman-firman-Nya yang tertuang dalam Al-Qur’an, Allah SWT juga memerintahkan kita agar taat kepada Nabi SAW dengan mengikuti sunnah-sunnahnya. Mengikuti apa yang beliau perintahkan dan meninggalkan apa yang beliau larang. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hasyr [59] ayat 7:

 Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya

Dengan kita mengikuti dan menaati Rasul, maka sebenarnya kita telah menaati Allah SWT karena apa yang disampaikan oleh Rasul adalah atas petunjuk-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa [4] ayat 80:

 Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah.

Taat kepada Rasul merupakan salah satu ciri orang yang beriman. Firman Allah SWT dalam QS. An-Nur [24] ayat 51:

 Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

 

Sementara itu, orang yang tidak mau mengikuti Rasul dan berat hati menerima keputusannya maka mereka bukanlah termasuk orang yang beriman. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa [4] ayat 65 :

 Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.

Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan kita agar berpegang teguh dengan sunnah beliau. Beliau bersabda dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah :

“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”

Rabu, 01 Februari 2023

ALLAH SWT DAN UTUSAN-NYA


 Oleh : Triat Adi Yuwono

Setelah mengenal Allah SWT sebagai Tuhan, tentu kita ingin mengetahui lebih dalam apa kehendak-Nya, apa yang dicintai dan dibenci-Nya. Namun karena kita adalah makhluk yang fana, sementara Allah adalah Dzat yang Maha Mutlak (Absolute), maka kita tidak akan mampu menjangkau atau memahami apa kehendak-Nya. Oleh karena itu, atas kasih sayang-Nya maka Dia berkenan menyampaikan apa kehendak-Nya, apa yang Dia cintai dan Dia benci melalui firman-firman-Nya. Firman-firman Allah SWT itulah  yang kemudian disampaikan kepada para manusia pilihan-Nya yakni para Nabi dan Rasul, melalui perantaraan Malaikat Jibril.

Allah SWT mengirimkan para Nabi dan Rasul kepada tiap-tiap ummat untuk menyampaikan kehendak Tuhan kepada manusia agar manusia bisa hidup bahagia. Nabi dan Rasul itu diutus berkesinambungan untuk ummatnya masing-masing. Hingga Allah SWT berkehendak bahwa Dia  mengakhiri pengiriman Nabi dan Rasul dengan diutusnya Nabi akhir zaman, yaitu Nabi Muhammad SAW. Maka setelahnya tidak ada Nabi dan Rasul lagi. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Ahzab [33] ayat 40:

”Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.

 Maka kita yang sudah beriman kepada Allah SWT, kita juga harus beriman pula kepada Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para Nabi yang membawa ajaran-ajaran-Nya. Maka kita harus bersaksi tentang hal ini, yang dikenal dengan kalimat Syahadat :

اَØ´ْÙ‡َدُ اَÙ†ْ لاَّاِلهَ اِلاَاللهُ Ùˆَ اَØ´ْÙ‡َدُ اَÙ†َّ  Ù…ُØ­َÙ…َّدًارَّسُÙˆْÙ„ُ اللهُ

 SAYA BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLAH, DAN SAYA BERSAKSI BAHWA NABI MUHAMMAD ADALAH UTUSAN ALLAH

 Dengan meyakini dan mengucapkan kalimat Syahadat maka kita menjadi seorang Muslim, yaitu orang yang berserah diri kepada Tuhan.

Selasa, 03 Januari 2023

KONSEP KETUHANAN ISLAM

 


                    Oleh : Triat Adi Yuwono

Dalam ajaran agama Islam, manusia bersifat relatif dan lemah sehingga dia tidak mungkin mampu menjangkau Tuhan sebagai Dzat yang mutlak. Oleh karena itu, manusia pada hakekatnya tidak mengenal siapa Tuhannya. Namun Tuhan sendirilah yang berkenan  memperkenalkan diri-Nya kepada manusia melalui wahyu yang disampaikan kepada orang-orang yang dipilih-Nya, yaitu para Nabi dan Rasul. Inilah perkenalan Tuhan kepada manusia yang disampaikan melalui wahyu (yaitu Al-Qur’an) :

”Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS.Thoha [20]:14)

 Dari perkenalan Tuhan dalam ayat di atas, maka dapat diketahui bahwa nama-Nya adalah Allah. Dia juga menjelaskan bahwa tidak ada tuhan yang hak selain Dia. Dia menyuruh makhluk-Nya untuk hanya menyembah kepada-Nya saja dan mendirikan shalat untuk mengingat-Nya. Maka umat Islam di seluruh dunia akan menyembah hanya kepada satu Tuhan yang bernama Allah. Dan seluruh umat Islam akan seragam dalam menyebut nama-Nya, karena Dia sendiri yang memperkenalkan nama-Nya itu, yaitu Allah.

Allah juga menyampaikan karakteristik-Nya kepada manusia yang sesuai dengan logika dan karakter Tuhan seperti yang telah disampaikan sebelumnya. Sebagai acuan dapat dilihat pada firman-Nya dalam Al Quran surat Al Ikhlas [112] ayat 1 – 4:

”Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Di

Ayat 1 :

Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. 

Pada ayat di atas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia hanya ada satu, esa, tunggal, tidak ada yang lain. Hal ini bersesuaian dengan karakter Tuhan yang ke 3, yaitu unique (satu-satunya).

Ayat 2 :

”Allah tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu”

 Allah SWT adalah tempat bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Segala sesuatu membutuhkan-Nya, sedangkan Dia tidak membutuhkan segala sesuatu karena Dia Maha Kuasa, Maha Perkasa, Maha Segalanya. Hal ini bersesuaian dengan karakter tuhan yang ke 1, yaitu absolute (mutlak). 

Ayat 3-4 :

Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada  sesuatupun yang setara dengan Dia”

Allah menjelaskan bahwa Dia tidak memiliki anak dan Dia juga bukan hasil dari peranakkan. Berbeda dengan makhluk-Nya yang memiliki anak atau keturunan untuk melangsungkan jenisnya. Dia juga berbeda dengan makhluk-Nya yang berasal dari peranakkan, memiliki induk. Allah berbeda dengan itu semua. Allah juga menjelaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang setara dengan Dia, tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya. Hal ini bersesuaian dengan karakter tuhan yang ke 2, yaitu distinct (tidak ada yang menyamai).

Dari penjelasan di atas, maka  Tuhan dalam ajaran agama Islamlah yang memiliki konsep sesuai dengan karakter Tuhan yang sesuai dengan akal manusia, yaitu Absolute (mutlak), distinct (tidak ada yang menyamai) dan unique (satu-satunya).

Konsep ke-Tuhanan dalam Islamlah yang benar, karena konsep itu sesuai dengan akal manusia dan wahyu yang mana kedua-duanya berasal dari Tuhan. Dengan kita mengetahui Tuhan yang benar, maka hati kitapun akan menjadi tenang karena kita yakin akan keakuratan kebenarannya. Tuhan yang benar itu adalah Allah SWT, Dzat Yang Maha Kuasa, Dzat Yang Tidak Ada Yang Menyamai dan Dzat Yang Maha Esa.

Ketika kita mengingat Tuhan Allah SWT, maka hati (rasa) kita akan menjadi tenteram, bahagia. Inilah yang diinginkan oleh manusia dalam pencariannya terhadap Tuhan. Sebagaimana Firman-Nya dalam QS. Ar Ra’du [13] ayat 28:

“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.”

 Dengan demikian, sesuailah konsep ke-Tuhanan dalam ajaran Islam antara rasa, rasio dan wahyu.

Senin, 12 Desember 2022

SARANA MENCARI KONSEP TUHAN

Oleh : Triat Adi Yuwono

Tuhan yang menciptakan alam semesta pastilah ada. Kalimat ”Tidak ada tuhan” yang disampaikan oleh orang-orang ateis adalah hal yang mustahil. Mengatakan ”tidak ada tuhan” sama halnya mengatakan ”tidak ada yang dipercaya”. Mengatakan ”tidak ada yang dipercaya” sama halnya mengatakan ”tidak ada yang benar”, karena sesuatu bisa dipercaya jika sesuatu itu benar atau dianggap benar. Sedangkan mengatakan ”tidak ada yang benar” sama halnya mengatakan ”semuanya salah”. Jika semuanya salah, maka kalimat ”semuanya salah’ juga salah. Dengan demikian pernyataan ”tidak ada tuhan” itu menafikkan dirinya sendiri. 

Dari rangkaian logika di atas, maka kita tidak mungkin mengatakan ”tidak ada tuhan”. Kalimat ”tidak ada tuhan” tidak mungkin bisa berdiri sendiri karena tidak masuk akal dan tidak bermakna. Kalimat itu bisa bermakna jika ia ditambah, sehingga kalimatnya menjadi: ”tidak ada tuhan, kecuali X”. Maka X menjadi satu-satunya Tuhan yang berbeda dengan tuhan-tuhan yang lain. Ia haruslah mutlak dan tidak bersifat relatif seperti yang lain. Tuhan X juga harus berbeda dengan apapun yang ada di alam raya dan apapun yang terpikirkan oleh manusia. Siapakah Tuhan ’X’ itu ? Bagaimana cara kita mengetahui-Nya ?

Tuhan yang menciptakan segala sesuatu tentulah merupakan ‘sesuatu’ di atas segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia karena kemutlakan-Nya. Manusia sebagai makhluk tidak akan mungkin dapat menjangkau sang penciptanya. Sebagaimana komputer sebagai hasil buatan yang tidak mungkin menjangkau manusia yang membuatnya.

Manusia yang fana, tidak mungkin menjangkau Tuhan yang mutlak. Tidak akan ada akal atau alat dengan teknologi secanggih apapun yang dapat mengungkap, seperti apakah hakikat Tuhan itu. Karena kemutlakan dan ketidak terjangkauannya itulah, maka kita hanya dapat melakukan pendekatan terhadap ‘konsep Tuhan’.

Cara yang paling logis untuk mencoba mendefinisikan ‘konsep Tuhan’ tentu dengan menggunakan bekal yang telah diberikan-Nya kepada setiap manusia, yaitu berupa RASA (hati) dan RASIO (akal). Namun karena adanya keterbatasan rasa dan rasio, maka kita membutuhkan petunjuk yang diturunkan oleh Dia sendiri ke dunia yang berupa WAHYU (firman-firman Tuhan).

1. Rasa (Hati)

Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, yaitu ketenangan hati. Tidak ada manusia yang menginginkan hatinya gelisah dan tidak tenang. Maka manusia secara naluriah akan mencari sesuatu yang membuat hatinya tenang. Ketenangan hati bisa diperoleh jika ia memiliki keyakinan terhadap sesuatu yang bisa dijadikan sebagai tempat bersandar dan berharap. Sesuatu itu tentulah harus lebih hebat dari diri dan lingkungan alam sekitarnya.

Hati yang bersih yang tidak terkotori oleh hawa nafsu akan  mengakui akan keberadaan suatu Dzat yang Maha Hebat, yang menciptakan, mengatur dan menguasai alam raya.  Dia akan mengakui adanya Dzat Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, yaitu Tuhan.

Dalam kondisi normal terkadang kesadaran akan adanya Tuhan  ini tertutup. Namun dalam kondisi bahaya, takut dan mencekam, manusia secara naluri akan memohon kepada sesuatu yang lebih kuat atas dirinya, meminta kepada sesuatu yang berkuasa atas alam untuk bisa menolongnya. Dia akan berdoa dan berlindung kepada Tuhan.

Dengan meyakini adanya Tuhan, manusia akan memiliki perasaan tenang. Namun manusia tidak puas hanya dengan meyakini tentang keberadaan Tuhan saja. Ia ingin tahu bagaimana Tuhan itu? Ia ingin tahu bagaimana karakter Tuhan, agar dia tidak meyakini tuhan yang salah, karena faktanya manusia menyembah tuhan yang berbeda-beda. Dengan mengetahui Tuhan yang benar maka dia bisa memperoleh kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan atau ketenangan yang semu. Untuk mengetahui karakter Tuhan, maka manusia mencari bagaimana konsep Tuhan dengan menggunakan akalnya.

2. Rasio (Akal)

Perasaan kita akan tenang ketika apa yang kita yakini benar. Salah satu cara untuk mencari kebenaran itu adalah dengan menggunakan akal kita.

Sesuatu, apapun itu, harus punya karakter atau ciri khas, supaya mudah dikenali dan tidak tertukar dengan yang lain. Kita bisa membedakan kursi, meja, pintu, jendela, papan tulis, spidol dan yang lainnya karena  masing-masing memiliki karakternya sendiri yang berbeda dengan karakter yang lainnya. Termasuk pula Tuhan. Tuhan juga pasti memiliki karakter atau ciri khas yang menyebabkan Dia ‘layak’ sebagai Tuhan. Jangan sampai yang bukan Tuhan justeru salah dijadikan sebagai Tuhan. Lantas, seperti apakah karakter Tuhan yang bisa diterima oleh akal manusia?

a. Absolute

‘Sesuatu’  yang dikatakan sebagai Tuhan tentu haruslah paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh ‘sesuatu’ yang lain. Sesuatu yang memiliki kekuasaan atau kekuatan yang masih tertandingi dengan yang lain, maka dia tidak layak dijadikan sebagai Tuhan.

Setiap orang yang beragama pasti mereka sepakat bahwa tuhan mereka haruslah yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya. Adakah yang ingin tuhannya lemah, mudah kalah, tidak memiliki kuasa? Tentu saja tidak ada. Maka Tuhan pastilah memiliki karakter Mutlak (Absolute). Dialah yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh ‘sesuatu’ yang lain.

 b. Distinct

Jika tuhan itu memiliki karakter ABSOLUTE (mutlak), yaitu yang paling hebat, paling kuat dan paling segalanya, pastilah Dia tidak ada yang menyamai, Dia berbeda dengan yang lain, dalam segala hal. Kalau masih ada yang menyamai berarti ia bukan yang paling hebat, bukan yang paling kuat, apalagi mutlak (maha segalanya). Maka sesuatu yang masih ada yang menyamai, ia tidak layak dijadikan sebagai Tuhan.

Tuhan Yang Maha Kuasa pastilah memiliki karakter DISTINCT, yaitu berbeda dengan yang lain, tidak ada yang menyamai, tidak ada yang setara dengan-Nya.

c. Unique

Tuhan yang memiliki karakter DISTINCT, tidak ada yang menyamai, berbeda dengan yang lainnya, maka pastilah jumlahnya hanya ada satu. Maka karakter Tuhan selanjutnya adalah UNIQUE, yang berarti hanya ada satu-satunya, esa, tunggal. Maka Tuhan itu hanyalah ada satu saja, bukan dua, tiga, empat dan sebagainya. Kalau jumlahnya lebih dari satu berarti dia bukanlah Tuhan, sehingga tidak layak untuk diagungkan.

Kepercayaan tentang adanya satu Tuhan (monoteisme) ini merupakan awal dari kepercayaan manusia. Kepercayaan terhadap satu Tuhan Tertinggi masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi di Afrika.

Ketiga karakter tuhan ini (Absolute, Distinct dan Unique) harus dimiliki semuanya. Tidak mungkin hanya ada salah satu atau dua karakter saja. Inilah konsep Tuhan yang bisa dijangkau oleh akal. Akal manusia tidak bisa menjangkau melebihi ini. Manusia tidak bisa mengetahui hakikat siapa Tuhannya. Maka manusia perlu mengetahui siapa Dia melalui firman-firman-Nya (wahyu)  yang tertuang dalam kitab suci.

Terbatasnya kemampuan akal kita menyebabkan kita membutuhkan justifikasi dari-Nya, apakah yang dicapai akal ini benar menurut-Nya atau tidak. Kita membutuhkan wahyu agar kita bisa mendapatkan kebenaran hakiki.

3. Wahyu

Tuhan yang telah menciptakan manusia, tentu Dia tidak akan membiarkannya begitu saja tinggal di dunia ini tanpa petunjuk. Maka Dia menurunkan petunjuk-Nya yang berupa firman-firman Tuhan yang disebut wahyu untuk  membimbing manusia agar tidak tersesat. Kumpulan firman Tuhan (wahyu) inilah yang kemudian menjadi Kitab Suci sebagai pedoman hidup bagi para pemeluk agama.

Bekal rasa dan rasio manusia tidak terjamin ‘keakuratannya’ untuk mencapai konsep ketuhanan yang paling benar. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan rasa dan rasio yang hanya menafsirkan sesuatu berdasarkan pengalaman empirisnya. Ketika sesuatu itu berada di luar pengalaman empirisnya, maka rasa dan rasio tidak dapat menjangkaunya.

Contoh sederhananya adalah, ketika saya mengatakan kepada orang di pedalaman Afrika bahwa ada benda yang ketika dijatuhkan tidak jatuh ke bawah tetapi justeru ke atas, tentu mereka tidak akan percaya karena mereka belum pernah merasakan pengalaman empirisnya. Yang mereka tahu sebuah benda ketika dijatuhkan akan  turun ke bawah, bukan naik ke atas. Mereka belum pernah mengalami atau melihat hal itu, sehingga akal mereka tidak akan memahaminya. Padahal bagi kita yang hidup di kota, itu adalah hal biasa. Anak-anak di kota biasa memegang balon yang ketika dijatuhkan ke bawah justeru terbang ke atas. Ini menunjukkan bahwa akal memiliki kemampuan terbatas pada pengalaman empirisnya.  

Hati manusia juga memiliki keterbatasan, hanya bisa memahami apa yang menjadi pengalaman empirisnya. Ketika saya menanyakan kepada anak kecil usia tiga tahun bagaimana rasanya jatuh cinta, tentu dia tidak mampu menjelaskan karena belum pernah merasakannya. Demikian juga ketika saya tanyakan bagaimana rasanya putus cinta, tentu dia juga tidak akan mampu menjelaskannya karena memang belum pernah merasakannya. Ini menunjukkan bahwa akal dan hati manusia memiliki keterbatasan sesuai dengan pengalaman empirisnya. Mereka tidak mampu menjangkau apa yang diluar pengalaman empirisnya.

Sama halnya ketika kita diminta untuk mengetahui hakikat Tuhan, kita tidak akan mampu, karena Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar jangkauan  manusia. Manusia hanya dapat berusaha untuk ‘mendekati’-Nya. Namun pendekatan yang dilakukan manusia dengan menggunakan rasa dan rasio masih terbuka kesalahan. Sebab, pendekatan ini masih bersifat subjektif dari sudut pandang manusia.  Agar proses pendekatan konsep Tuhan tidak salah, maka harus dibimbing oleh petunjuk dari Tuhan itu sendiri yang berupa wahyu dalam kitab suci. Tuhan adalah yang paling tahu tentang siapa diri-Nya, maka Dia menjelaskan diri-Nya dalam kitab suci itu.

Manusia untuk mengetahui tentang Tuhan, selain menggunakan rasa dan rasio dia juga harus menggunakan bimbingan dari wahyu agar memperoleh kebenaran yang hakiki. 

 Tuhan yang telah menciptakan rasa dan rasio untuk manusia, Tuhan pulalah yang telah menurunkan wahyu untuk pedoman hidup manusia, maka konsep Tuhan yang diperoleh rasa, rasio dan wahyu akan sama, saling mendukung dan menguatkan. Karena ketiganya sama-sama berasal dari Tuhan. Apabila ada ketidak cocokan konsep Tuhan antara rasa, rasio dan wahyu dalam kitab suci, maka itu pasti bukan berasal dari Tuhan.

Untuk mengetahui kebenaran konsep ketuhanan dalam ajaran agama, maka kita bisa membandingkan konsep ketuhanan yang ada dalam kitab suci dengan konsep Tuhan yang telah dicapai akal. Pembandingan ini bukan berarti menempatkan akal lebih tinggi dari wahyu, namun adalah agar kita bisa memanfaatkan karunia akal yang diberikan-Nya untuk mencapai kebenaran. Sehingga apa yang kita anggap benar tentang Tuhan, bukanlah sekedar dogma-dogma, tetapi adalah kebenaran hakiki. Dengan demikian hati (perasaan) kita akan menjadi tenang, karena kita mencapai kebenaran Tuhan yang sesuai antara rasa, rasio dan wahyu.