Oleh : Triat Adi Yuwono
Tuhan yang menciptakan segala sesuatu tentulah merupakan
‘sesuatu’ di atas segala sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh manusia karena
kemutlakannya. Manusia sebagai makhluk tidak akan mungkin dapat menjangkau sang
penciptanya. Sebagaimana komputer sebagai hasil buatan yang tidak mungkin menjangkau
manusia yang membuatnya.
Manusia yang fana, tidak mungkin menjangkau Tuhan yang
mutlak. Tidak akan ada akal atau alat dengan teknologi secangih
apapun yang dapat mengungkap, seperti apakah hakikat Tuhan itu?
Karena kemutlakan dan ketidak terjangkauannya
itulah, maka kita hanya dapat melakukan pendekatan terhadap ‘konsep Tuhan’.
Cara yang paling logis untuk mencoba mendefinisikan
‘konsep Tuhan’ tentu dengan menggunakan bekal paling awal yang
telah diberikan-Nya kepada setiap manusia, yaitu berupa
RASA (perasaan) dan RASIO (akal). Namun karena adanya keterbatasan rasa
dan rasio, maka kita membutuhkan petunjuk yang diturunkan oleh Dia sendiri ke
dunia yang berupa wahyu (firman-firman Tuhan).
1.
Rasa (Hati)
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan, yaitu
ketenangan hati. Tidak ada manusia yang menginginkan hatinya gelisah, tidak
tenang, tidak bahagia. Maka manusia secara naluriah akan mencari sesuatu yang
membuat hatinya bahagia dan tenang.
Hati yang bersih yang tidak terkotori oleh hawa
nafsu akan mengakui akan keberadaan
suatu Dzat yang menciptakan, mengatur dan menguasai alam raya. Dia akan mengakui adanya Dzat Yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu. Dialah Tuhan.
Dalam kondisi normal kadang kesadaran akan adanya
Tuhan ini tertutup. Namun dalam kondisi
bahaya, takut dan mencekam, manusia secara naluri akan memohon kepada sesuatu
yang lebih kuat atas dirinya, meminta kepada sesuatu yang berkuasa atas alam untuk
bisa menolongnya. Dia akan berdoa dan berlindung kepada Tuhan.
Dengan meyakini adanya Tuhan, manusia akan memiliki
perasaan tenang. Namun manusia tidak puas hanya dengan meyakini tentang
keberadaan Tuhan saja. Ia ingin tahu bagaimana Tuhan itu ? Ia ingin tahu
bagaimana karakter Tuhan, agar dia tidak meyakini tuhan yang salah karena
faktanya manusia menyembah tuhan yang berbeda-beda. Dengan mengetahui Tuhan
yang benar maka dia bisa memperoleh kebahagiaan hakiki, bukan kebahagiaan atau
ketenangan yang semu. Untuk mengetahui karakter Tuhan, maka manusia mencari
bagaimana konsep Tuhan dengan menggunakan akalnya.
2.
Rasio (Akal)
Perasaan kita akan tenang
ketika apa yang kita yakini benar. Untuk mencapai kebenaran itu kita bisa menggunakan
akal kita. Namun kita tetap membutuhkan wahyu dari Tuhan untuk menguatkan
kebenaran yang dicapai akal.
Sesuatu, apapun itu, harus
punya karakter atau ciri khas, supaya mudah dikenali dan tidak tertukar dengan
yang lain. Termasuk pula Tuhan. Tuhan
juga pasti memiliki karakter atau ciri khas yang menyebabkan Dia ‘layak’
sebagai Tuhan. Jangan sampai yang bukan Tuhan justeru salah dijadikan sebagai
Tuhan. Lantas, seperti apakah karakter
Tuhan yang bisa
diterima oleh logika, objektif dan tentu saja harus
sesuai dengan firman-Nya (wahyu) ?
a.
Absolute
Karakter Tuhan yang pertama adalah
ABSOLUTE (mutlak).
‘Sesuatu’ yang dikatakan sebagai
Tuhan tentu haruslah paling hebat, paling kuat,
paling berkuasa di atas segalanya dan tidak tergantung atau dipengaruhi oleh
‘sesuatu’ yang lain.
Buat apa jadi tuhan kalau
ia punya kekuasaan atau kekuatan yang masih tertandingi. Tanyakanlah kepada setiap orang yang beragama,
pasti mereka sepakat bahwa tuhan mereka haruslah yang paling hebat, paling kuat, paling berkuasa di atas segalanya. Adakah yang ingin tuhannya lemah, mudah kalah, tidak memiliki kuasa?
Tentu saja tidak.
b.
Distinct
Karakter Tuhan yang kedua adalah DISTINCT
(tidak ada yang menyamai).
Jika tuhan itu haruslah yang paling hebat, paling kuat dan paling segalanya, pastilah Dia tidak ada yang menyamai, Dia berbeda dengan yang lain, dalam segala
hal. Kalau masih ada yang menyamai berarti ia bukan yang paling hebat, bukan
yang paling kuat, apalagi mutlak (maha segalanya). Maka sesuatu yang masih ada yang menyamai, ia tidak layak dijadikan
sebagai Tuhan.
c.
Unique
Tuhan yang memiliki karakter
DISTINCT, tidak ada yang menyamai, berbeda dengan yang lainnya, maka pastilah jumlahnya
hanya ada satu. Maka karakter Tuhan selanjutnya adalah UNIQUE, yang berarti hanya ada satu-satunya,
esa, tunggal.
Kepercayaan tentang adanya satu
Tuhan (monoteisme) merupakan awal kepercayaan manusia. Kepercayaan
terhadap satu Tuhan Tertinggi masih terlihat dalam agama suku-suku pribumi
Afrika.[1]
Ketiga karakter tuhan ini
(Absolute, Distinct dan Unique) harus dimiliki semuanya. Tidak mungkin hanya ada salah
satu atau dua karakter saja. Inilah konsep Tuhan yang
bisa dijangkau oleh akal. Akal manusia tidak bisa menjangkau melebihi ini.
Manusia tidak bisa mengetahui hakikat siapa Tuhannya. Maka manusia perlu
mengetahui siapa Dia melalui wahyu (firman-firman Tuhan) yang tertuang dalam kitab suci.
3.
Wahyu
Tuhan yang telah menciptakan manusia, tentu Dia tidak
akan membiarkannya begitu saja tinggal di dunia. Ia akan membimbing manusia
agar tidak tersesat, maka Dia menurunkan petunjuk-Nya yang berupa firman-firman
Tuhan yang disebut wahyu. Kumpulan firman Tuhan (wahyu) inilah yang kemudian
menjadi Kitab Suci sebagai pedoman hidup para pemeluk agama.
Bekal rasa dan rasio manusia tidak terjamin
‘keakuratannya’ untuk mencapai konsep ketuhanan yang paling benar. Hal ini
disebabkan oleh keterbatasan rasa dan rasio yang hanya menafsirkan sesuatu
berdasarkan pengalaman empirisnya. Ketika sesuatu itu berada di luar
jangkauan pengalaman empirisnya, maka rasa dan rasio tidak dapat menjangkaunya.
Contoh sederhananya adalah, ketika seseorang diminta
untuk melukis atau menggambarkan seorang gadis yang paling cantik, maka ia akan
menggambarkan ‘unsur’ gadis itu berdasarkan apa yang pernah dilihat, dialami
atau diketahuinya.
-
Rambutnya :
Ikal, lurus, pendek atau panjang tergerai. Warnanya hitam
legam atau pirang.
-
Hidungnya : mancung, bangir atau agak
pesek.
-
Matanya : tajam,
hitam atau biru.
-
Dan lain sebagainya.
Bukankah semua ciri tersebut pernah dilihat dan
diketahuinya ? Seandainya permintaannya diganti dengan melukis atau
menggambarkan gadis cantik yang belum pernah dilihat, tentu dia
tidak akan mampu melukisnya.
Sama halnya ketika kita diminta untuk mengetahui hakikat Tuhan, kita tidak
akan mampu, karena Tuhan adalah sesuatu yang berada di luar
jangkauan manusia. Manusia
hanya dapat ‘mendekatinya’. Namun pendekatan yang dilakukan manusia dengan menggunakan
rasa dan rasio masih terbuka kesalahan. Sebab, masih berorientasi subjek
(subjektif). Agar proses pendekatan konsep Tuhan tidak salah, maka harus
dibimbing oleh petunjuk dari Tuhan itu sendiri yang berupa wahyu dalam kitab
suci.
Diagramnya sebagai berikut :
Tuhan yang telah menciptakan rasa dan rasio
untuk manusia, Tuhan pulalah yang telah menurunkan wahyu untuk pedoman hidup
manusia, maka konsep Tuhan yang diperoleh rasa, rasio dan wahyu akan sama,
saling mendukung dan menguatkan. Karena ketiganya berasal dari Tuhan yang sama.
Apabila ada ketidak cocokan antara rasa, rasio dan wahyu maka itu pasti bukan
berasal dari Tuhan.
Kunjungi juga: www.comicmoslem.blogspot.com