Oleh : Triat Adi Yuwono
Albert Einstein (1879-1955) adalah ilmuwan fisika
teoritis terbesar dalam abad ke-20.
Ia lahir pada tanggal 14 Maret 1879 di
Ulm, Wurttemberg, Jerman. Ia suka mengamati alam semesta,
bintang-bintang dan benda-benda langit yang lain.
Hasil pengamatan ilmiah tentang alam semesta menunjukkan
bahwa alam semesta ini berkembang. Apabila waktu ditarik ke belakang, maka alam
semesta yang berkembang ini dahulu berasal dari satu titik tunggal yang
kemudian meledak. Dalam astrofisika dan astronomi dikenal awal mula alam
semesta ini sebagai suatu peristiwa dentuman besar atau big bang. Einstein memandang peristiwa dentuman besar
sebagai batas awal dari proses seluruh alam semesta ini yang secara matematika
Einstein menganggap suatu proses integrasi. Bukankah dalam penyelesaian
matematika secara integrasi harus ada syarat batas, yaitu harga awal dan harga
akhir ?[1].
Dari sini Einstein yakin bahwa alam semesta ini pasti ada permulaannya dan
pasti akan ada akhirnya.
Jika alam semesta ini ada awal mulanya melalui
proses dentuman besar dan secara matematika disebut sebagai syarat batas awal.
Maka mengenai batas akhirnya, Einstein secara empiris telah menemukannya dari
pengamatan terhadap bintang yang sudah mati menuju kepada kehancuran total dan
tak bersinar lagi yang dalam astrofisika dan astronomi dinamakan dengan “the
white draft”.[2]
Einstein berpendapat bahwa kalau alam semesta ini
ada awal mulanya, sudah pasti ada yang menciptakan.[3]
Kalau alam semesta ini ada akhirnya, berarti dia tidak abadi, dan tentu yang
menciptakannya adalah Yang Abadi. Dialah Tuhan.
Einstein secara diam-diam sempat mengatakan bahwa
seandainya alam semesta ini memiliki tiga tuhan, maka telah hancurlah alam
semesta ini. Ia sangat meyakini bahwa alam semesta yang demikian teratur dan
seimbang ini hanya dikendalikan oleh Kekuatan Super Besar yang Tunggal.[4]
Einstein menyarankan kepada para ilmuwan bahwa untuk
memperoleh pemahaman tentang alam orang harus menggunakan keterampilan
matematis, wawasan fisika dan kecerdasan mental. Hasil dari pemahaman tentang
alam ini diharapkan akan dapat menemukan eksistensi Tuhan.[5] Ia
juga menyatakan tentang pentingnya keseimbangan antara sains dan agama; sains
tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh[6].
Einstein sebagai seorang ilmuwan, fisikawan dan
seorang pemikir sejati, tentu tidak dengan mudahnya untuk menyerah dalam pencarian
eksistensi Tuhan. Ia ingin tahu tentang Maha Pencipta yang paling sesuai dengan
logika dan jalan pikirannya. Sang Maha Pencipta yang bisa diikuti dengan
penalaran, bukan hanya harus dipercayai secara dogmatis saja, seperti yang ia
alami selama ini. Ia kemudian mencoba
merumuskan eksistensi Tuhan dalam bentuk persamaan matematik dan fisika.
Namun ia tidak mampu merumuskannya,
sehingga ia mengatakan : “Tuhan memang rumit, tetapi tidak jahat”. Ini menunjukkan bahwa akal manusia terbatas.
Secerdas apapun manusia, ia tidak akan
mampu mengetahui bagaimana dan
seperti apa Dzat Tuhan[7].
bagus..akhirnya sejalan dgn islam
BalasHapusLol
BalasHapusYang terbatas tidak akan bisa menjangkau yg tidak terbatas ..
BalasHapusAbu Nawas ,,