Selasa, 11 Oktober 2016

PEMIKIRAN ALBERT EINSTEIN TENTANG TUHAN




Oleh : Triat Adi Yuwono
Albert Einstein (1879-1955) adalah ilmuwan fisika teoritis terbesar dalam abad  ke-20. Ia  lahir pada tanggal 14 Maret  1879 di  Ulm, Wurttemberg, Jerman. Ia suka mengamati alam semesta, bintang-bintang dan benda-benda langit yang lain.
Hasil pengamatan ilmiah tentang alam semesta menunjukkan bahwa alam semesta ini berkembang. Apabila waktu ditarik ke belakang, maka alam semesta yang berkembang ini dahulu berasal dari satu titik tunggal yang kemudian meledak. Dalam astrofisika dan astronomi dikenal awal mula alam semesta ini sebagai suatu peristiwa dentuman besar atau big bang.  Einstein memandang peristiwa dentuman besar sebagai batas awal dari proses seluruh alam semesta ini yang secara matematika Einstein menganggap suatu proses integrasi. Bukankah dalam penyelesaian matematika secara integrasi harus ada syarat batas, yaitu harga awal dan harga akhir ?[1]. Dari sini Einstein yakin bahwa alam semesta ini pasti ada permulaannya dan pasti akan ada akhirnya.
Jika alam semesta ini ada awal mulanya melalui proses dentuman besar dan secara matematika disebut sebagai syarat batas awal. Maka mengenai batas akhirnya, Einstein secara empiris telah menemukannya dari pengamatan terhadap bintang yang sudah mati menuju kepada kehancuran total dan tak bersinar lagi yang dalam astrofisika dan astronomi dinamakan dengan “the white draft”.[2]
Einstein berpendapat bahwa kalau alam semesta ini ada awal mulanya, sudah pasti ada yang menciptakan.[3] Kalau alam semesta ini ada akhirnya, berarti dia tidak abadi, dan tentu yang menciptakannya adalah Yang Abadi. Dialah Tuhan.
Einstein secara diam-diam sempat mengatakan bahwa seandainya alam semesta ini memiliki tiga tuhan, maka telah hancurlah alam semesta ini. Ia sangat meyakini bahwa alam semesta yang demikian teratur dan seimbang ini hanya dikendalikan oleh Kekuatan Super Besar yang Tunggal.[4]
Einstein menyarankan kepada para ilmuwan bahwa untuk memperoleh pemahaman tentang alam orang harus menggunakan keterampilan matematis, wawasan fisika dan kecerdasan mental. Hasil dari pemahaman tentang alam ini diharapkan akan dapat menemukan eksistensi Tuhan.[5] Ia juga menyatakan tentang pentingnya keseimbangan antara sains dan agama; sains tanpa agama buta, agama tanpa sains lumpuh[6].
Einstein sebagai seorang ilmuwan, fisikawan dan seorang pemikir sejati, tentu tidak dengan mudahnya untuk menyerah dalam pencarian eksistensi Tuhan. Ia ingin tahu tentang Maha Pencipta yang paling sesuai dengan logika dan jalan pikirannya. Sang Maha Pencipta yang bisa diikuti dengan penalaran, bukan hanya harus dipercayai secara dogmatis saja, seperti yang ia alami selama ini. Ia kemudian mencoba  merumuskan eksistensi Tuhan dalam bentuk persamaan matematik dan fisika. Namun ia tidak mampu  merumuskannya, sehingga ia mengatakan : “Tuhan memang rumit, tetapi tidak jahat”.  Ini menunjukkan bahwa akal manusia terbatas. Secerdas apapun manusia, ia tidak akan  mampu  mengetahui bagaimana dan seperti apa Dzat Tuhan[7].


[1] Wisnu Arya Wardhana, 2005. Melacak Teori Einstein dalam  Al-qur’an. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Hal:144
[2] Ibid
[3] Ibid, hal:146
[4] Agus Mustofa. 2008. Beragama dengan Akal Sehat. PADMA Press: Surabaya,  hal:219
[5] Wisnu Arya Wardhana, 2005. Melacak Teori Einstein dalam  Al-qur’an. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal:149
[6] Paul Davis. 2012. Membaca Pikiran Tuhan. Pustaka Pelajar: Yogyakarta, hal:5
[7] Ibid, hal:154

3 komentar: