Selasa, 04 Oktober 2016

TUHAN




Oleh: Triat Adi Yuwono

        Setiap manusia menginginkan kebahagiaan di dalam hidupnya. Banyak orang melakukan berbagai cara dan usaha untuk mendapatkan kebahagiaan ini. Tidak ada manusia yang ingin hidupnya tidak bahagia. Bahagia berarti memiliki ketenangan batin. Untuk menjadikan dirinya tenang, maka manusia membutuhkan sebuah ‘pegangan’, atau kita menyebutnya dengan ‘keyakinan’.
Kita bisa duduk tenang di atas kursi karena kita ‘yakin’ bahwa kursi yang kita duduki tidak akan patah ketika  diduduki. Kita bisa berdiam di dalam rumah dengan tenang karena kita yakin rumah yang kita tempati tidak akan roboh menimpa kita. Kita bisa melewati jembatan dengan tenang karena kita yakin bahwa jembatan itu tidak akan ambruk ketika kita lewat di atasnya. Begitulah, keyakinan akan membuat diri kita menjadi tenang.
      ‘Keyakinan’ akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan  manusia, ia dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia. Manusia akan berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya, dia akan mementingkan dan rela berjuang (bahkan berkorban) untuk apa yang menjadi keyakinannya tersebut. Karena setiap manusia membutuhkan ‘keyakinan’, maka setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang diper-TUHAN-kan. TUHAN adalah sesuatu yang dipentingkan oleh manusia, sehingga ia rela dikuasai oleh sesuatu itu. Sesuatu yang diper-TUHAN-kan manusia itu biasanya sesuatu yang menurut dia benar/ baik[1]. Meskipun kadang bersifat sementara.
      Tidak ada seorangpun yang tidak ber TUHAN (atheist). Meskipun sebagian orang mengaku sebagai atheist, namun pada hakekatnya dia tetap menjadikan ‘sesuatu’ sebagai TUHAN-nya baik itu yang abstrak (hawa nafsu, akal, dan sebagainya) maupun benda nyata (materi, manusia, dan sebagainya) .
        Banyak dari manusia yang meyakini bahwa materi bisa membuat hidupnya tenang dan  bahagia. Ia menjadikan materi sebagai tujuan hidupnya, segalanya diukur dengan materi, sehingga ia dikuasai oleh materi. Maka pada hakekatnya orang tersebut telah menjadikan materi sebagai TUHAN.
Banyak manusia yang mau menuruti apa saja keinginan orang lain tanpa mempedulikan benar atau salah, rela menjilat asalkan orang tersebut senang, memujanya secara berlebihan, dan sebagainya. Maka orang tersebut telah menjadikan manusia lain sebagai TUHAN-nya.
        Banyak dari manusia yang selalu menuruti hawa nafsunya. Dia akan melakukan apa saja asalkan keinginan hawa nafsunya terpenuhi, dia tidak peduli apakah orang lain dirugikan atau tidak, yang penting keinginannya tercapai. Maka orang seperti ini telah menjadikan hawa nafsunya sebagai TUHAN.
        Banyak dari manusia yang mengagungkan akalnya. Akal adalah segala-galanya, dia menganggap segala permasalahan hidup bisa diselesaikan hanya dengan menggunakan akalnya. Akal adalah puncak kebenaran, dia tidak mempercayai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akalnya. Maka orang tersebut telah menjadikan akal sebagai TUHAN-nya
Banyak manusia yang menjadikan materi, hawa nafsu, akal dan sesama manusia sebagai TUHAN-nya, sesuatu yang begitu dipentingkan dan mengalahkan yang lain. Tapi, apakah hal-hal tersebut pantas untuk dijadikan sebagai TUHAN ?
        Bukankah materi bisa habis dan hilang ? Bukankah hawa nafsu dapat menjerumuskan ? Bukankah kemampuan akal memiliki keterbatasan ? Bukankah setiap manusia memiliki kekurangan ? Bukankah materi, hawa nafsu, akal dan manusia tidak bisa memberikan kebahagiaan yang hakiki ? Bukankah PENUHANAN terhadap materi, hawa nafsu, akal dan manusia bersifat relatif ? Sebagian orang menjadikannya sebagai TUHAN, dan sebagian lainnya tidak menjadikannya sebagai TUHAN, bahkan menjauhinya. Maka sungguh tidak pantas kita menjadikan itu semua sebagai TUHAN, sebagai sesuatu yang begitu dipentingkan, bahkan kita rela dikuasainya.
    Lalu, siapakah  yang patut dipentingkan? Yang layak dijadikan sebagai TUHAN ? Yang patut dipentingkan tentulah yang menciptakan dan menguasai materi, akal, hawa nafsu, manusia dan semua yang ada di alam raya ini. Yang patut kita jadikan sebagai TUHAN adalah Sang Pencipta dan Pengatur alam raya.


[1] Lihat Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim.1999. Kuliah Tawhid. Yayasan Pembina Sari Insan: Jakarta, hal: 53-54

Tidak ada komentar:

Posting Komentar