Oleh: Triat Adi Yuwono
Setiap manusia menginginkan kebahagiaan di dalam
hidupnya. Banyak orang melakukan berbagai cara dan usaha untuk mendapatkan
kebahagiaan ini. Tidak ada manusia yang ingin hidupnya tidak bahagia. Bahagia
berarti memiliki ketenangan batin. Untuk menjadikan dirinya tenang, maka
manusia membutuhkan sebuah ‘pegangan’, atau kita menyebutnya dengan ‘keyakinan’.
Kita bisa duduk tenang di atas kursi karena kita ‘yakin’
bahwa kursi yang kita duduki tidak akan patah ketika diduduki. Kita bisa berdiam di dalam rumah
dengan tenang karena kita yakin rumah yang kita tempati tidak akan roboh
menimpa kita. Kita bisa melewati jembatan dengan tenang karena kita yakin bahwa
jembatan itu tidak akan ambruk ketika kita lewat di atasnya. Begitulah, keyakinan
akan membuat diri kita menjadi tenang.
‘Keyakinan’ akan
sangat berpengaruh terhadap kehidupan
manusia, ia dapat mempengaruhi pikiran dan tindakan manusia. Manusia
akan berpikir dan bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya, dia akan mementingkan dan rela berjuang (bahkan berkorban) untuk apa yang
menjadi keyakinannya tersebut. Karena setiap manusia membutuhkan ‘keyakinan’,
maka setiap manusia pasti mempunyai sesuatu yang diper-TUHAN-kan. TUHAN adalah
sesuatu yang dipentingkan oleh manusia, sehingga ia rela dikuasai
oleh sesuatu itu. Sesuatu yang diper-TUHAN-kan manusia itu
biasanya sesuatu yang menurut dia benar/ baik[1]. Meskipun
kadang bersifat sementara.
Tidak ada seorangpun yang tidak ber TUHAN (atheist).
Meskipun sebagian orang mengaku sebagai atheist, namun pada hakekatnya
dia tetap menjadikan ‘sesuatu’ sebagai TUHAN-nya baik itu yang abstrak (hawa
nafsu, akal, dan sebagainya) maupun benda nyata (materi, manusia, dan
sebagainya) .
Banyak dari manusia yang meyakini bahwa materi bisa
membuat hidupnya tenang dan bahagia. Ia menjadikan materi sebagai tujuan
hidupnya, segalanya diukur dengan materi, sehingga ia dikuasai oleh materi.
Maka pada hakekatnya orang tersebut telah menjadikan materi sebagai TUHAN.
Banyak manusia yang mau menuruti apa saja keinginan orang
lain tanpa mempedulikan benar atau salah, rela menjilat asalkan orang tersebut
senang, memujanya secara berlebihan, dan sebagainya. Maka orang tersebut telah
menjadikan manusia lain sebagai TUHAN-nya.
Banyak dari manusia yang selalu menuruti hawa nafsunya.
Dia akan melakukan apa saja asalkan keinginan hawa nafsunya terpenuhi, dia
tidak peduli apakah orang lain dirugikan atau tidak, yang penting keinginannya
tercapai. Maka orang seperti ini telah menjadikan hawa nafsunya sebagai TUHAN.
Banyak dari manusia yang mengagungkan akalnya.
Akal adalah segala-galanya, dia menganggap segala permasalahan hidup bisa
diselesaikan hanya dengan menggunakan akalnya. Akal adalah puncak kebenaran,
dia tidak mempercayai sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh indera dan akalnya.
Maka orang tersebut telah menjadikan akal sebagai TUHAN-nya
Banyak manusia yang menjadikan materi, hawa nafsu, akal
dan sesama manusia sebagai TUHAN-nya, sesuatu yang begitu dipentingkan dan
mengalahkan yang lain. Tapi, apakah hal-hal tersebut pantas untuk dijadikan
sebagai TUHAN ?
Bukankah materi bisa habis dan hilang ? Bukankah hawa
nafsu dapat menjerumuskan ? Bukankah kemampuan akal memiliki keterbatasan ?
Bukankah setiap manusia memiliki kekurangan ? Bukankah materi, hawa nafsu, akal
dan manusia tidak bisa memberikan kebahagiaan yang hakiki ? Bukankah PENUHANAN
terhadap materi, hawa nafsu, akal dan manusia bersifat relatif ? Sebagian orang
menjadikannya sebagai TUHAN, dan sebagian lainnya tidak menjadikannya sebagai
TUHAN, bahkan menjauhinya. Maka sungguh tidak pantas kita menjadikan itu semua
sebagai TUHAN, sebagai sesuatu yang begitu dipentingkan, bahkan kita rela
dikuasainya.
Lalu, siapakah yang patut dipentingkan? Yang layak dijadikan
sebagai TUHAN ? Yang patut dipentingkan tentulah yang menciptakan dan menguasai
materi, akal, hawa nafsu, manusia dan semua yang ada di alam raya ini. Yang
patut kita jadikan sebagai TUHAN adalah Sang Pencipta
dan Pengatur alam raya.
[1] Lihat Muhammad ‘Imaduddin ‘Abdulrahim.1999. Kuliah Tawhid. Yayasan Pembina Sari Insan: Jakarta, hal: 53-54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar